Gadis desa hancur di kota ( opini penghancur generasi)

Gadis desa hancur dikota (opini penghancur generasi)
Dilingkungan tempat tinggal kita pasti sudahlah tidak asing dengan istilah atau pribahasa yabg berkembang begitu pesat di masyarakat tentang gadis desa yang katanya kanpungan terhadap hal-hal yang ada di perkotaan sampai akhirnya membuatnya terkesima dan akhirnya hancur tergerus oleh arus budaya perkotaan.
Banyak sekali masyarakat yang mengatakan bahwa sebagiann besar gadis desa yang merantau itu akan pulang dengan keadaan hancur. Hancur dalam artian selalu saja dianggap akan pulang ke kampong halaman dengan membawa kandungannya dari hubunga yang terlarang.
Sadar atau tidak opini tersebut sangatlah berbahaya bagi kebanyakan masyarakat utamanya masyarakat pedesaan tersebut. Selain akan menimbulkan banyak prasangka yang tidak baik juga akan menghancurkan bibit-bibit generasi penerus bangsa.
Kenapa saya katakan demikian karena saya juga adalah masyarakat pedesaan yang sering sekali menjadi bahan bullyian bahan menjadi terlihat sangat menjijikkan bagi masyarakat utamanya masyarakat yang ada di daerah tempat tinggal saya, hanya karena saya tidak pernah mengindahkan apa kata mereka tentang larangan keluar desa menuntut ilmu, katanya nanti saya pulang membawa malu untuk keluarga dan masyarakat. Dengan penuh rasa sedih yang mendalam saya terima itu semua. Yang penting hsk saya untuk menuntut ilmu tidak terenggut sama sekali.
Oke kembali ke persoalan awal, opini itu akan membuat masyarakat pedesaan yang masih minim mempunyai kecemasan yang berrlebihan saat anak gadisnya sudah mulai menginjak remaja. Alhasil mereka mengurungnya, tak memberrinya ruang untuk bergaul dengan yang lain apalagi harus keluar daerah menuntut ilmu, mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Awal mulanya adalah karena opini yang tak ada hentinya menyebar dikalangan masyarakat. Sampai akhirnya harus mengorbankan tak sedikit dari gadis-gadis desa, mengambl hak-hak mereka yang harusnya memperoleh pendidikan akhirnya tidak bisa karena kecemasan yang berrlebihan.
Saya sangat prihatin dengan kondisi teman-teman saya yang akhirnya tak bisa melanjutkan pendidikan hanya karena opini itu, mereka ketakutan, teracuni dan akhirnya memilih untuk menyarah saja.
Meskipun sekarang sudh tidak terlalu kental budaya larang-melarang itu, saya masih saja tetap prihatin jikan opini terus saja berkembang di masyarakat, semoga ada kesadaran dari oknum-oknum tertentu bahwa opini-opini yang demikian bukan hanya tentang gaddis desa tadi tapi masih banyak diluar sana bahwa semuanya berpotensi untuk menimbulkan hal yang negative bagi masyarakat .

Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taro ada Taro Gau sebagai pribahasa suku Bugis